Senin, 29 November 2010

URGENSI MENDIDIK ANAK MENURUT SURAT AL-LUQMAN ayat 13-19

Pesan-Pesan Yang Terkandung  Dalam Surat Al-Luqman
 Pesan yang pertama
    Disebutkan kisahnya oleh firman Allah swt yang mengatakan:
                                                                                                                           
    Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".[1]

    Ibnu Katsir r.a telah mengatakan dalam kitab tafsirnya bahwa luqman berpesan kepada putranya sebagai orang yang paling disayanginya dan paling berhak mendapat pemberian paling utama dari pengetahuannya. Oleh karena itulah, luqman dalam wasiat pertamanya berpesan agar anaknya menyembah Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya sesuatu pun seraya memperingati kepadanya:
    Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".[2]
    Yakni syirik adalah dosa yang paling besar. Sehubungan dengan hal ini, Bukhari telah meriwayatkan melalui Abdullah bin Mas’ud r.a yang telah menceritakan: ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya:

    "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk".(Q.S Al-An-‘am:82)[3]

    Kami berkata: “Wahai Rasulillah, siapakah diantara kami yang tidak berbuat dhalim terhadap dirinya sendiri?
    Rasulullah saw menyangkal melalui sabdanya:
    “Pengertiannya tidaklah seperti yang kalian katakana, bahwa mereka tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedhaliman, yang dimaksud kedhaliman ialah kemusyrikan. Tidaklah kalian pernah mendengar ucapan Luqman kepada anaknya yang disitir oleh firman-Nya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedhaliman yang besar.[4]
    Syirik disini diungkapkan dengan perbuatan dhalim. Mereka mencampur adukkan iman mereka dengan kedhaliman, yakni dengan kemusyrikan. Selanjutnya, Luqman mengiringnya dengan pesan lain, yaitu agar anaknya menyembah Allah semata dan berbakti kepada kedua orang tua sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:

    "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia."[5]

    b.      Pesan yang kedua

    (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.[6]
    Ibnu Katsir mengatakan bahwa seandainya amal sekecil dzarrah itu dibentengi dan ditutupi berada didalam batu besar yang membisu atau hilang dan lenyap di kawasan langit dan bumi, maka sesungguhnya Allah pasti akan membalasinya. Demikianlah karena sesungguhnya Allah tiada sesuatupun tersembunyi bagi-Nya dan tiada sebutir dzarrah pun, baik yang ada dilangit maupun dibumi, terhalang dari penglihatan-Nya. Oleh sebab itulah, disebutkan oleh firman-Nya:

    “Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.”[7]
    Lathifun, Maha Halus pengetahuan-Nya, sehingga segala sesuatu tiada yang tersembunyi betapapun lembut dan halusnya. Khoirun, maha mengetahui langkah-langkah semut kecil apa pun yang ada dikegelapan malam yang sangat pekat.
    Al-Qurthubi mengatakan bahwa telah menceritakan bahwa Luqman bertanya kepada ayahnya tentang sebutir biji yang jatuh kedasar laut, apakah Allah mengetahuinya? Maka Luqman menjawabnya dengan mengulangi jawaban semula yang disebutkan dalam firman-Nya:

    "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi.”[8]

    c.       Pesan yang ketiga
    Luqman terus-menerus memberikan pengarahan kepada putranya dalam pesan selanjutnya. Kisahnya disebutkan oleh firman-Nya:

    Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).[9]

    Ibnu Katsir mengatakan dalam kitab tafsirnya: “Aqimish shalaata, dirikanlah shalat, lengkap dengan batasan-batasan, fardhu-fardhu, dan waktu-waktunya. Wa’mur bil ma’rufi wanha ‘anil mungkar, perintahkanlah perkara yang baik dan cegahlah perkara yang mungkar menurut batasan kemampuan dan jerih payahmu, karena sesungguhnya untuk merealisasikan amar ma’ruf dan nahi munkar, pelakunya pasti akan mendapat gangguan dari orang lain. Oleh karena itulah, dalam pesan selanjutnya Luqman memerintahkan kepada putranya untuk bersabar. Allah berfirman:

    “Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”[10]

    yakni bersikap sabar dalam menghadapi gangguan manusia termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah swt. Menurut pendapat lain, Luqman memerintahkan kepada putranya untuk bersabar dalam menghadapi macam kesulitan hidup didunia, seperti berbagai macam penyakit dan sebagainya, dan tidak sampai ketidaksabarannya menghadapi hal tersebut akan menjerumuskannya kedalam perbuatan yang durhaka terhadap Allah swt. Pendapat ini cukup baik karena pengertiannya bersifat menyeluruh. Demikianlah menurut Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya.

    d.       Pesan yang keempat

    Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.[11]

    Ash-Sha’r artinya berpaling. Makna asalnya adalah suatu penyakit yang menyerang tengkuk unta atau bagian kepalanya sehingga pesendian lehernya terlepas dari kepalanya, kemudian diserupakanlah dengan seorang lelaki yang bersikap sombong.
    Ibnu Katsir mengatakan: “Janganlah engkau bersikap sombong dengan dengan meremehkan hamba-hamba Allah dan memalingkan mukamu dari mereka bila mereka berbicara denganmu. Dalam sebuah hadits:
    كُلُّ صَعَّارٍ مَلْعُوْنٌ
    “Setiap orang yang sombong itu terkutuk.”[12]
    As-Sha’aar, orang yang sombong, karena dia hanya memperlihatkan pipinya dan memalingkan wajahnya dari orang lain. (An-Nihayah, Ibnul Atsir, bab Sha’ara)
                            Makna ayat menurut Al-Qurthubi ialah anganlah kamu palingkan mukamu dari orang-orang karena sombong terhadap mereka, merasa besar diri, dan meremehkan mereka. Demikianlah menurut takwil Ibnu Abbas dan sejumlah ulama lainnya. Makna yang dimaksud ialah hadapkanlah wajahmu kearah mereka berbicara denganmu, dengarkanlah ucapannya sampai dia menghentikan pembicaraannya.

    “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh”[13]
    Al-Qurthubi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan marahan ialah cara jalan dengan langkah yang angkuh dan sombong tanpa ada kesibukan atau keperluan. Orang yang berpekerti seperti ini terbiasa dengan sikap sombong dan besar diri. Al-marah artinya orang yang angkuh cara jalannya. Al-Fakhur, orang yang menghitung-hitung nikmat yang telah dianugrahkan kepada dirinya, sedang dia tidak pernah bersyukur kepada Allah. Demikianlah menurut Mujahid.
    e.       Pesan yang kelima
    “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”[14]
    Al-Qurthubi mengatakan bahwa setelah Luqman memperingatkan anaknya agar waspada terhadap akhlaq yang tercela, dia lalu menggambarkan kepada akhlaq mulia yang harus dikenakannya. Untuk itu ia mengatakan :
    “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan”[15]
    Yakni bersikap pertengahanlah kamu dalam berjalan. Al-Qashdu adalah cara jalan yang pertengahan, antara langkah cepat dan langkah lambat. Sehubungan dengan hal ini, Rasulullah saw bersabda:
    سُرْعَةُ الْمَشْيِ تُذْهِبُ بَهَاءَ الْمُؤْمِنِ
    Artinya:
    “Cara jalan yang cepat akan menghilangkan keanggunan orang mukmin.”
                    Adapun mengenai apa yang diriwayatkan dari Nabi saw bahwa bila Nabi swt berjalan, melakukan dengan langkah yang cepat dan ucapan Aisyah r.a sehubungan dengan Umar adalah orang yang paling cepat jalannya, maka sesungguhnya yang dimaksud dengan hal tersebut tiada lain hanyalah langkah cepat diatas langkah yang lambat, tetapi tidak terlalu cepat.hanya Allah yang lebih mengetahui makna yang dimaksud. Akan tetapi, Allah swt sendiri memuji orang yang bersifat demikian sebagaimana yang telah disebutkan keterangannya dalam surat Al-Furqan:

    Artinya:
    “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati.”[16]

      Demikian juga firman Allah swt:
    “Dan lunakkanlah suaramu”
    Al-Qurthubi mengatakan kurangilah suaramu dari suara yang keras, tetapi dalam batas yang seperlunya, karena sesungguhnyasuara yang keras. “Dengan kata lain, janganlah kamu memeksakan dirimu mengeluarkan suara yang keras, tetapi dalam batas yang seperlunya, karena sesunguhnya suara yang keras lebih dari yang diperlukan adalah tindakan yang dipaksakan dan dapat mengganggu. Makna yang dimaksud dari keseluruhannya adalah bersikap tawadhu’ atau rendah diri. Sesungguhnya Umar r.a pernah mengatakan sehubungan dengan seorang juru adzan yang memaksakan dirinya mengeluarkan suara yang sangat keras lebih dari kemampuannya: “Sesungguhnya aku khawatir bila urat kandung kemihmu terputus. “Juru adzan yang dimaksud adalah Abu Mahdzurah alias Samurah bin Mi’yar. Allah swt berfirman:
    “Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”[17]
                Al-Qurthubi mengatakan bahwa suara yang paling buruk dan paling tidak enak didengar ialah suara keledai. Selanjutnya Al-Qurthubi mengatakan bahwa sebutan keledai adalah ungkappan perumpamaan yang menunjukkan makna celaan berat dan makian, begitu pula suara lengkingannya. Mereka menganggap buruk menyebut kata keledai secara terang-terangan.
                Sesungguhnya termasuk diantara etika yang buruk ialah bila menyebutkan kata keledai di dalam majlis kaum yang mempunyai harga diri lagi terhormat. Bahkan diantara orang-orang Arab ada yang sama sekali tidak mau mengendarai keledai meskipun jalan kaki telah memayahkan dirinya. Berbeda halnya dengan Nabi saw maka beliau mengendarainya hanya semata-mata sebagai ungkapan sifat rendah dirinya karena Allah swt.
    Pada garis besarnya ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan burukknya meninggikan suara dalam berkhutbah dan berbicara, sama buruknya dengan suara keledai karena suara keledai sangat tinggi.

    1. Relevansi Mendidik Anak Dengan Al-Qur’an Surat Luqman
    Telah dibahas diatas tentang bagaimana cara Luqman mendidik anaknya dengan sangat hati-hati sekali dan menasehatinya dikala anaknya lalai dalam kesehariannya. Dibuktikan pada ayat 13 disebutkan bahwasanya Luqman memberikan pelajaran kepada anaknya agar tidak memepersekutukan Allah swt, Dialah yang Maha Esa  Maha Agung pencipta seluruh alam raya ini beserta isinya yang patut disembah, sebegaimana tertera dala Q.S Al-Ikhlas: 1-4
    Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.  Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
    Kemudian dijelaskan pada ayat 16 dijelaskan bahwasanya Luqman berkata kepada anaknya





































    DAFTAR PUSTAKA
    Abdur Rahman, Jamaal. 2005. Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah SAW. Irsyad Baitus Salam: Bandung.
    Hujjati, Muhammad Baqir. 2008. Mendidik Anak sejak Kandungan. Cahaya: Jakarta.
    Huda, Miftahul. 2008. Interaksi Pendidikan 10 Cara Qur’an Mendidik Anak. UIN-Malang Press: Malang
    Ibrahim, Mun’im. 2007. Pendidikan Islami Bagi Remaja Putri. Najla Press: Jakarta Selatan.



    [1] Al-Qur’an, hal
    [2] Ibid, hal
    [3] Al-Qur’an, hal
    [4] Bukhari, Kitab Ahaditsil Anbiya, hal 3110
    [5] Q.S Al-Israa’: 23, hal
    [6] Q.S. Al-Luqman: 16, hal
    [7] Q.S. Al-Luqman: 16, hal
    [8] Ibid, hal
    [9] Ibid, hal
    [10] Ibid, hal
    [11] Ibid, hal
    [12] Tafsir Qurthubi 14/70
    [13] Ibid, hal
    [14] Ibid, hal
    [15] Ibid, hal
    [16] Q.S Al-Furqan: 63, hal
    [17] Ibid, hal